Pro-Kontra Pertanian Organik
Organic farming sendiri merupakan cara bertani yang tidak menggunakan bahan
kimia sebagai pupuk dan pestisida. Pupuk yang digunakan biasanya merupakan kombinasi
dari kotoran hewan (manure), kompos dari tanaman maupun abu vulkanik. Pestisida yang
digunakan juga berasal dari berbagai tanaman yang diketahui tidak disukai oleh hama.
Dengan cara ini, apa yang berasal dari tanah dikembalikan lagi ke tanah sehingga
keberlanjutan (sustainability) lingkungan hidup terjaga dan kualitas tanaman (dalam
pengertian kandungan nutrisi) yang dihasilkan lebih baik. Hal ini berlawanan dengan apa
yang dilakukan manusia sejak revolusi hijau, dimana pertanian bersifat massal (lahan ratusan
hektar), menggunakan peralatan berat dalam berbagai tahapan pengelolaan pertanian,
menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang mudah ditebarkan dan memberi hasil besar
juga, sehingga harga murah dan terjangkau oleh masyarakat. Dengan tehnik ini dibutuhkan
total lahan dan jumlah pekerja relatif kecil untuk memberi makan penduduk dunia.
Pertanian organik adalah sistem
pertanian yang holistik yang mendukung dan
mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan
aktivitas biologi tanah. Sertifikasi produk
organik yang dihasilkan, penyimpanan,
pengolahan, pasca panen dan pemasaran
harus sesuai standar yang ditetapkan oleh
badan standardisasi (IFOAM, 2008).
Pertanian organik belum sepenuhnya
memasyarakat, baik oleh petani sendiri
maupun oleh pemerintah yang telah
mencanangkan program kembali ke organik
(go organic) tahun 2010. Walaupun program
kembali ke organik tidak berjalan seperti apa
yang diharapkan, namun Indonesia masih
mempunyai peluang untuk mengembangkan
pertanian organik dengan potensi yang
dimilikinya.
Beberapa penelitian tentang kinerja pertanian organik dibandingkan pertanian
konvensional (dalam hal produktivitas, biaya produksi dan hasil finansial) telah dilakukan di
negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hasil studi di Afrika misalnya mengungkapkan
bahwa sistem pertanian organik ternyata mampu meningkatkan produktivitas dan
ketahanan pangan, mengurangi ketergantungan terhadap input pertanian dari luar kawasan (eksternal), meningkatkan penghasilan petani dan mendorong kelestarian lingkungan
(UNCTAD 2009). Ini memberikan harapan bahwa pertanian organik menawarkan jawaban
atas masalah-masalah yang berkaitan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan,
kelayakan ekonomis sebuah usaha pertanian, kerusakan lingkungan dan masalah sosial
lainnya.
Pro-kontra Pertanian Organik
No.
|
Pro
|
Kontra
|
1.
|
Jauh lebih
sehat dan produk lebih berkualitas serta rasa lebih enak.
|
Produk pertanian
organik sangat mahal, sehingga tidak akan terjangkau oleh masyarakat menengah
kebawah.
|
2.
|
Bisa memperbaiki
tanah yang sudah rusak dalam jangka panjang.
|
Galur murni
yang dihasilkan pertanian organik tidak jelas.
|
3.
|
No residu,
No Toxin
|
Pengendalian
hama pertanian anorganik lebih efektif.
|
4.
|
Tidak membunuh
agen hayati
|
Penampilan fisik
produk pertanian organik kurang menarik.
|
5.
|
Bebas bahan
kimia dan racun
|
Produk hasil
pertanian organik lebih sedikit dibanding hasil pertanian anorganik.
|
6.
|
Pertanian organik
adalah pertanian yang ramah lingkungan.
|
Pemeliharaan
dan perawatan pertanian organik lebih berat.
|
7.
|
Limbah hasil
pertanian organik dapat digunakan kembali.
|
Kebutuhan pupuk
yang diperlukan untuk pertanian organik tidak jelas.
|
8.
|
Reklamasi dan
rehabilitas lahan.
|
|
9.
|
Produk hasil
pertanian organik memiliki nilai jual yang tinggi.
|
Salah satu penelitian mengatakan bahwa pupuk organik memiliki bahaya yaitu pada pupuk kandang mengandung bakteri E.Coli yang dapat menganggu pencernaan (sakit perut). Sulit mengubah pertanian konvensional menjadi pertanian organik. pertanyaannya adalah apakah pertanian organik dapat memenuhi kebutuhan pangan pagi manusia di dunia untuk kedepan? belum tentu, karena hasil produksi pertanian organik tidak sebanyak pertanian konvensional.
Pertanyaan selanjutnya adalah SEHAT dulu? atau KENYANG dulu? Yaps, pasti jawabannya adalah "Yang penting kenyang, sehat belakangan", jadi untuk sekarang pertanian konvensionallah yang lebih dikedepankan.
Pertanian Organik
Pertanian organik sebenarnya merupakan tekhnik bertani alami yang sudah diterapkan jauh sebelum maraknya penggunaan pestisida dan pupuk kimia, namun sistem pertanian ini mulai marak di kerjakan lagi pada awal abad 20 sebagai respon terhadap maraknya penelitian-penelitian di bidang agriculture yang menunjukkan bahaya penerapan sistem pertanian konvensional terhadap kesehatan ekosistem termasuk kemungkinan efek buruknya terhadap manusia. Ciri-ciri hasil tani organik:
Lebih lama dipanen: Pertanian organik lebih menggantungkan prosesnya pada alam, sehingga masa panennya pun lebih lama dibanding pertanian konvensional.
Tak Lepas dari Cacat Fisik: Jika anda terbiasa berbelanja bahan pangan (yang ditanam secara konvensional) di supermarket, anda mungkin akan terkejut jika sekali waktu mencoba membeli sayuran organik dari petani. Hasil tani organik bukan dijual berdasarkan parameter fisiknya (ukuran besar dan homogen satu dan lainnya, jarang terdapat bagian yang membusuk atau terdapat ulat, serangga dan siput, warnanya lebih terang, dsb) namun lebih kepada kandungan nutrisinya dan minimnya kandungan bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Lagi pula, indahnya penampakan sayuran dan buah secara kosmetik (dari luar) tidak berbanding lurus dengan kandungan nutrisi dan racunnya.
Ukuran lebih kecil: Hasil tani organik rata-rata memiliki ukuran yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan hasil tani konvensional. Hal ini dikarenakan pertanian organik tidak menggunakan pupuk kimia yang banyak mengandung natrium (garam), jadi tanaman tidak banyak menyerap air, yang menyebabkan ia membesar.
Pertanian Konvensional
Pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang menggunakan tanah sebagai media tanam, yang umumnya diikuti dengan pemberian pupuk kimia dan pestisida untuk mencegah serangan predator dan mempercepat pertumbuhan tanaman. Penggunaan pestisida mulai marak di pertengahan abad ke 19.
Pertanian konvensional umumnya bertujuan meraih profit sebanyak-banyaknya dengan menekan biaya dan meningkatkan hasil produksi. Hal ini dapat dicapai dengan mudah menggunakan pupuk kimia, pestisida dan tak jarang dengan cara mengembangkan bibit terbaik di laboratorium (menghasilkan produk GMO). Inilah yang menyebabkan hasil tani konvensional umumnya memiliki ciri-ciri:
Cepat dipanen: Produk GMO (Genetically Modified Organism) yang merupakan hasil modifikasi genetik di laboratorium dikembangkan dengan tujuan salah satunya agar cepat dipanen, supaya dapat menekan proses produksi dan memenuhi lebih banyak permintaan konsumen.
Minim cacat: Cacat produk pada hasil panen dapat berupa pembusukan atau adanya bentuk yang tak wajar, disebabkan oleh serangan predator. Hal ini dapat dengan mudah dihindari dalam sistem pertanian konvensional dengan tekhnik GMO dan penggunaan pupuk kimia serta pestisida.
Ukuran lebih besar: Tingginya natrium dari pupuk kimia menyebabkan tanaman menyerap air lebih banyak sehingga ukurannya lebih besar dari hasil tani organik.
Daftar Pustaka
Herawati, Noknik Karliya, Hendrani, Januarita dan
Nugraheni, Siwi.
2014. VIABILITAS PERTANIAN ORGANIK DIBANDINGKAN
DENGAN PERTANIAN KONVENSIONAL. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan
2014. VIABILITAS PERTANIAN ORGANIK DIBANDINGKAN
DENGAN PERTANIAN KONVENSIONAL. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan
Mayrowani, Henny. 2012. PENGEMBANGAN
PERTANIAN ORGANIK DI
INDONESIA. Bogor: FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI,
Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 91 - 108
INDONESIA. Bogor: FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI,
Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 91 - 108
https://www.qorryagustin.com/single-post/2017/03/06/Organik-vs-Konvensional-vs-Hidroponik-Mana-Yang-Lebih-Baik-Berdasarkan-Penelitian
Komentar
Posting Komentar